Lintasi Sejarah Minahasa

Minahasa berasal dari kata Esa yag berarti satu; kata Mah-esa berarti menyatukan, yakni menyatukan berbagai kelompok sub-etnik Minahasa yang terdiri dari Tontemboan, Tombulu, Tonsea, Tondano, Ponosakan, Pasan, Ratahan, dan Bantik.

Nama Minahasa pertama kali muncul dalam laporan Residen J.D Schierstein, tanggal 8 Oktoer 1789, yaitu tentang perdamaian yang telah dilakukan oleh kelompok sub-etnik Bantik dan Tombulu (Tateli); demikian pula antara kelompok sub-etnik Tondano dan Tonsawang (Godee Molsbergen, 1928 : 53).

Minahasa adalah semenanjung yang terletak di bagian paling utara dari semenanjung pulau Sulawesi, yaitu antara 0 derajat51’ dan 1 derajat 51’ 40” lintang utara dan antara 123 derajat 21’ 30” dan 125 derajat 10’ bujur Timur. Luas semenanjung adalah 5373 kilometer persegi. Iklim daerah Minahasa terpegaruh oleh angin muson. Pada bulan September sampai April, bertiup angin pembawa hujan lebat. Bulan Mei sampai November bertiup angin selatan ke barat laut.

curah hujan di darerah pedalaman Minahasa terhitung tinggi yaitu 4188mm pertahun dan jumlah curah hujan mencapai 195 hari. Suhu pesisir pantai agak tinggi, namun daerah pegunungan temperatur menunjukkan 26-27 derajat celsius pada musim hujan.

Jenis vegetasi yang paling dominan sekarang adalah pohon kelapa (cocos nucivera) yang terdapat sejak Zaman Portugis, sedangkan sejak dahulu kala telah ada pohon seho (aranga sachariferum) sebagai pohon yang serba guna, dan sekarang yang menjadi tanaman favorit adalah Cengkih dan Vanili. Kuda (kawalo) telah dikenal penduduk sejak zaman spanyol sedangkan sapi didatangkan dari Benggala, India sejak zaman V.O.C (Tjahaja Siang, Januari 1870)

Bentuk masyarakat Minahasa pada zaman dahulu adalah bentuk Tribe. Bentuk masyarakat demikian dirinci oleh George Foster dkk dalam “Peasant Society” (1967) sebagai “Tribal System” atau kelompok masyarakat pedalaman yang pokok kehidupan adalah ladang pertanian. Unit politiknya yang tertinggi adalah Walak. Pada zaman dahulu dapat saja seorang walak kepala sub-etnik menjadi seorang Walian (pendeta religi pribumi) dan dalam fungsi seperti itu, kekuasaanya menjadi lebih mutlak.

Ia akan merupakan seorang yang dekat dengan alam, karena dia harus dapat dengan cepat menangkap gejala-gejala alam untuk mengatasi persoalan yang mugkin terdapat di wilayahnya. Jadi dia harus seorang yang dapat membaca gejala-gejala alam yang diberikan alam sekitarnya, dan seorang yang mengerti akan batas-batas wewenang yang diberikan kepadanya. Seorang pimpinan dianggap seoseorang yang memiliki “kete” atau kekuatan. Karena memiliki kekuatan ini, maka ia dapat diangakat menjadi pemimpin. Ia dapat dianggap yang terbaik diantara warga sederajatnya yang terdapat dalam wilayahnya. Oleh sebab itu ia menjadi unsur “primus interpares” desanya. Dalam peran ini dia juga tidak boleh sewenang-wenang menggunakan kekuasaanya, terutama dalam soal pembagian tanah, karena dia juga bisa dikenakan sanksi dari “Opo” atau semacam sanksi Ilahi. Ia dapat menjadi “wales” maka akibatnya berat. Ia akan mendapat nama jelek dan dikucilkan dari masyarakat, sebagai hukuman bagi si pemimpin (J.A.T. Schwrz, Tontemboancher Teksten : 1907:133,381). Dalam istilah moderen disebut “character assassination”.

J.G.F Riedel sebagai seorang ahli pemerintahan pada tahun 1870 menilai pengangkatan kepala walak sebagai suatu yang khas di Minahasa. Riedel menulis sebagai berikut,”walaupun siapa saja di dalam wilayah itu, dapat dipanggil untuk memimpin pemerintahan yang dipilih oleh wakil-wakil/”ngaran” untuk menjadi kepala (abakai oem banoea), tetapi dalam cara memilih mereka tidak sembarangan”.

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Lintasi Sejarah Minahasa"

Posting Komentar