Batu ini terdapat di daerah Tompaso, Minahasa Tengah, kira-kira 10 km masuk dari jalan raya Tompaso, dan terletak di lereng gunung Tonderukan, dekat gunung Soputan. Di pegunungan Tonderukan terdapat banyak batu. Menurut para ahli arkeologi batu-batu tersebut termasuk jenis “menhir”, yang dikenal sejak zaman pra sejarah dan termasuk tradisi “megaliktik”.
Batu-batu seperti itu yang terdapat dilereng gunung Tonderukan menjadi tempat duduk untuk orang-orang mendengar bunyi burung. Salah satu batu yag letaknya lebih ke puncak dari batu pinabetengan dinamakan “kekeretan”, penduduk percaya bahwa itulah tempat duduk Opo Muntu Untu, bila ia turun maka disertai gemuruh yang dahsyat, dan biasanya turun ke gunung soputan sesudah itu baru ke gunung Tonderukan.
Bila dia hadir maka manguni akan memberitakannya. Terdapat pula batu yang lain yang dikatakan tempat duduk Opo Kopero. Opo Muntu Untu adalah utusan Yang Maha Tinggi, atau Kasuruan (Tuhan). Kasuruan akan menyuarakan pesanannya melalui Manguni yang dilambangkan sebagai burung yang bijaksana.
Bunyi yang bagus disebut Maapi. Manguni dipelihara oleh Opo khusus yaitu Opo Mamarimbing. Oleh sebab itu Manguni disebut juga se kokok se Mamarimbing atau burungnya Opo Mamarimbing yang dalam religi pribumi adalah juru bicara Kasuruan. Batu Pinabetengan merupakan suatu bukti bahwa Minahasa tegah-lah dahulu menjadi pusat kebudayaan nenek moyang. Dari sini, kita melihat bahwa cerita “lumimuut dan Toar” memiliki keterkaitan yang erat hubungnnya dengan cerita Batu Pinabetengan atau Batu pembagian wilayah untuk para sub-etnik. Setiap suku atau sub-sub yang datang kemudian seperti Tonsawang, Pasan, Ratahan, dan Bantik harus mengakui ikrar yang dilakukan di batu Pinabetengan yaitu mereka adalah satu keturunan, dari Lumiuut dan Toar,akibatnya versi mitos Lumimuut danToar menjadi banyak, mencapai lebih dri 90 versi. Tetapi terdapat versi yang sama dalam setiap cerita yaitu terdapatnya tanah,air dan batu.
Dari seluruh cerita Batu Pinabetengan dapat disimpulkan bahwa, disitu adalah pusat dari religi pribumi. Kemudian batu itu menjadi simbol dari keseimbangan dari para sub-etnik yag datang kemudian. Jadi percampuran etnik untuk “Orang Minahasa” bukanlah sesuatu yang baru. Menerima etnik lain adalah suatu yang lumrah. Perlu dicatat bahwa Batu Pinabetengan itu diketahui pertamakali sebagai tempat pemujaan dari religi pribumi “Orang Minahasa” oleh J.G. Schwarz, penginjilan Nederlandsche Zendeling Genootschap (NZG ) yang bertugas di daerah Langouwan dan sekitarnya di tahun 1832.
0 Response to "WATU PINAWETENGEN"
Posting Komentar